Sabtu, 25 Oktober 2014







Mengenal Ulama Dunia

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي عَنِ النَّارِ، قَالَ : لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ   عَظِيْمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلىَ مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ : تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ  بِهِ شَيْئاً، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ  الْبَيْتَ، ثُمَّ قَالَ : أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ   اللَّيْلِ، ثُمَّ قَالَ : } تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ.. –حَتَّى بَلَغَ-  يَعْمَلُوْنَ{ُ ثمَّ قَالَ : أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ وُعَمُوْدِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ ؟ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ فَقُلْتُ : بَلىَ  يَا رَسُوْلَ اللهِ . فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالِ : كُفَّ  عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمَ بِهِ ؟ فَقَالَ : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، وَهَلْ   يَكُبَّ النَاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ –أَوْ قَالَ : عَلىَ مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ . [رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح]


Terjemah hadits / ترجمة الحديث  :

Dari Mu’az bin Jabal radhiallahuanhu dia berkata : Saya berkata : Ya Rasulullah, beritahukan saya tentang perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari neraka, beliau bersabda: Engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, dan perkara tersebut mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah ta’ala, : Beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya sedikitpun, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji. Kemudian beliau (Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam) bersabda: Maukah engkau aku beritahukan tentang pintu-pintu surga ?; Puasa adalah benteng, Sodaqoh akan mematikan (menghapus) kesalahan sebagaimana air mematikan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam (qiyamullail), kemudian beliau membacakan ayat (yang artinya) : “ Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya….”. Kemudian beliau bersabda: Maukah kalian aku beritahukan pokok dari segala perkara, tiangnya dan puncaknya ?, aku menjawab : Mau ya Nabi Allah. Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah Jihad. Kemudian beliau bersabda : Maukah kalian aku beritahukan sesuatu (yang jika kalian laksanakan) kalian dapat memiliki semua itu ?, saya berkata : Mau ya Rasulullah. Maka Rasulullah memegang lisannya lalu bersabda: Jagalah ini (dari perkataan kotor/buruk). Saya berkata: Ya Nabi Allah, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita bicarakan ?, beliau bersabda: Ah kamu ini, adakah yang menyebabkan seseorang terjungkel wajahnya di neraka –atau sabda beliau : diatas hidungnya- selain buah dari yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka

Jumat, 10 Oktober 2014





Mungkin aku tidak tau apa yang akan kuberikan kepada mu…
tapi dengarkanlah langit mulai berbisik disana…
berbisik dengan wajah tersenyum, tersenyum melihat kita… tersenyum melihat dunia…
saat malam tiba, lihatlah ke atas langit ..
jika kamu melihat sebuah bintang jatuh, jangan terpana melihatnya …
tapi buatlah sebuah permintaan …
percayalah … permintaanmu akan dikabulkan .. karna aku telah melakukannya
Semoga malam merangkulmu dalam kedamaian hingga bulan digantikan pengantin fajar….
Ya Rabb, jaga dan sayangilah ia…
murahkan rezekinya, sehatkan raganya,
dan sampaikan ia pada cita-citanya.
terangi jalannya, damaikan hatinya,
dan bahagiakan keluarganya.
beri ia kenikmatan dalam setiap ibadahnya,
biarkan keikhlasan dan kesabaran menjadi sahabat sehari-harinya.
jauhkan dirinya dari segala penyebab murka-Mu,
dan bimbing ia untuk satu tempat terbaik-Mu…
ingatlah… jatah mu hidup di dunia sudah berkurang satu tahun…
coba flashback… berapa banyak dosa yang sudah kamu perbuat?
berapa banyak amal baik yang sudah kamu persiapkan buat di akhirat?
berapa banyak waktu yang sudah kamu buang dengan percuma?
semoga di jatah hidupmu yang makin berkurang ini kamu bisa menjadi lebih baik…
Kami telah menciptakan kamu; maka mengapa kamu tidak membenarkan? Adakah kamu perhatikan (benih manusia) yang kamu pancarkan? Kamukah yang menciptakannya? Ataukah Kami yang menciptakannya?” (Al Qur’an, 56:57-59)

Rabu, 01 Oktober 2014





Ulama Betawi:
Betawi kerapkali dijadikan bahan kajian dan diskusi yang menarik dari dulu hingga kini, karena diskursus mengenai Betawi mengandung estetika tersendiri. Topiknya pun beraneka warna dan selalu aktual serta faktual bahkan terkadang kontroversial, seperti kajian sosial politik dan kebudayaan Betawi.
Kendati demikian, corak keislaman dan sejarah sosial intelektual Islam di Betawi belum banyak dikaji, karena perhatian baru difokuskan kepada sejarah sosial, politik, keseniaan dan kebudayaan serta kepurbakalaan. Padahal sejarah sosial intelektual Islam di Betawi telah memiliki peran yang signifikan dalam perubahan di masyarakat Betawi. Para pelaku sejarah intelektual Islam di Betawi adalah para ulama Betawi pada abad ke 19 dan 20 yang menimba ilmu di Timur Tengah selama bertahun-tahun.
Setelah mereka menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan Madinah, sebagian besar mereka kembali ke Betawi. Di sinilah mereka menjadi penyebar utama tradisi intelektual keagamaan Islam di Makkah dan Madinah ke Betawi.
Penelitian ini mencoba menelusuri jaringan ulama Betawi yang belajar langsung kepada ulama Timur Tengah pada abad ke-19 dan 20 serta upaya transmisi keagamaan di Betawi. Kajian ini mencoba mengembangkan teori Azyumardi Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya keterkaitan intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah dan Madinah dan upaya reformasi yang dilakukan sekembalinya mereka ke tanah air. Perbedaan hanya terletak pada dimensi ruang dan waktu.
Penelitian ini juga mencoba menelusuri perkembangan Islam di Betawi mulai masa Jayakarta hingga Batavia dan menelusuri corak keberagamaan Islam di Betawi. Terlepas dari perdebatan asal usul komunitas etnis Betawi, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Betawi memiliki ketaatan yang fanatik terhadap ajaran Islam dan perasaan anti Barat yang kuat. Kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 itu dapat disebabkan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi terkemuka yang telah berhasil dalam memberikan pemahaman tentang Islam.
Islam dan Betawi merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan sebutan “Betawi” hanya bisa digunakan oleh penduduk asli Jakarta yang beragama Islam. Sedangkan penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen secara turun temurun biasanya disebut dengan daerah asalnya, seperti penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen yang diduga keturunan Mardijkers di daerah Tugu Jakarta Utara disebut orang Tugu dan penduduk asli beragama Kristen di daerah Depok disebut orang Depok atau Belanda Depok. Penduduk asli Batavia saat itu kerapkali menyebut dirinya dengan Orang Selam yang agaknya merupakan pengucapan setempat untuk Islam. sebagaimana Srani untuk kata “Nasrani”.
Hamka menemukan bukti tentang kuatnya orang Betawi memegang agama Islam. Selama 350 tahun dijajah Belanda tetapi jarang sekali terdengar anak Betawi yang masuk Kristen. Kendati orang Betawi hidup dalam kemiskinan dan kekurangan ilmu pengetahuan tetapi jika masuk Kristen adalah aib sekali. Hal itu menolak teori bahwa kemiskinan mudah menjadi kafir. Segala sesuatu telah diderita oleh orang Betawi kecuali menjadi kafir.
Ridwan Saidi berpendapat bahwa Islam memberi makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era penjajahan Belanda. Zikir, ratib, pembacaan manakib Syaikh Saman, maulid Barjanji serta Diba. Semuanya merupakan ekpresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diri isyhadû bi annâ muslimûn (saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam). Suatu ekpresi teologis yang nyaris sepi dari politik, kendati demikian penjajah Belanda dibuat tidak berkutik.
Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi’i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Oleh karenanya dapat dipahami bila organisasi Islam modernis dan Organisasi Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan TBC (tahayul, bid’ah dan khurafat). Kecaman tersebut dalam banyak hal tertuju pada budaya dan tradisi Betawi yang dalam beberapa hal bersentuhan dengan tahayul, bid’ah dan khurafat.
Deskripsi tentang kuatnya masyarakat Betawi dalam memegang teguh ajaran Islam dikarenakan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi terkemuka dalam memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ulama-ulama Betawi tersebut memiliki jaringan keilmuan di Timur Tengah karena menimba ilmu di beberapa negara Timur Tengah sehingga mereka melakukan penyebaran keislaman di Nusantara terutama di Betawi.
Azra mengungkapkan bahwa penyebaran keilmuan Islam di Nusantara sampai abad ke-19 bersumber dari ulama yang terlibat jaringan intelektual dengan ulama Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah (Haramain). Penulis berkeinginan untuk mengembangkan teori yang telah dikemukakan oleh Azra tersebut.
Keilmuan Islam yang berlangsung di pusat dunia Islam (Haramain) saat itu memiliki karakteristik yang jelas, yaitu gagasan pembaharuan sebagai rekontruksi sosio-moral masyarakat Muslim. Pembaharuan ini menekankan pada ketaatan terhadap syariat atas tasawuf dari Masyarkat Muslim. Penerimaan ulama Haramain terhadap tasawuf kala itu adalah tasawuf yang telah diperbaharui dan sejalan dengan tuntutan syari’at sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Ghazali.
Penyebaran pembaharuan keilmuan Islam di Betawi abad ke-19 dan 20 merupakan proses penerusan ulama Nusantara yang memiliki hubungan intelektual dengan ulama Makkah abad sebelumnya. Mereka telah menjalin hubungan erat dengan sejumlah tokoh penting di pusat keilmuan Makkah. Keterlibatan ulama Nusantara dalam jaringan ulama Haramain dimulai pada paruh kedua abad ke-17 yang dimulai oleh Nuruddin ar-Raniri (w. 1069 H/1658 M), Abdur Rauf Singkel (1035-1105 H/1615-1693 M) dan Yusuf al-Maqassari (1626-1699). Kemudian disusul oleh ulama abad ke-18 yaitu Abdul Shomad al-Palimbani (1704-1788), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), Dawud bin Abdullah al-Fatani (1718-1847), Muhammad Nafis al-Banjari (1735-1812) dan Abdurrahman al-Mashri al-Batawi.
Pembaharuan keagamaan secara langsung dari Makkah ke Betawi telah terjadi pada abad ke-19 dan 20. Bahkan pada abad ke-18 sudah ada ulama Betawi yang bernama Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi yang menimba ilmu di Makkah. Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah teman karib Abdul Shamad Al-Palimbani dari Sumatera Selatan (1116/1704-1203/1789) dan Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122/1710-1227/1812) dari Kalimantan Selatan. Kendati informasi mengenai Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi ini sangat minim, tetapi peran dan kiprahnya menunjukkan bahwa dia terlibat aktif secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama terpenting di Nusantara pada abad ke 18.
Sebelum kembali ke Betawi, karena merasa belum mendapat pengetahuan yang memadai, Abdurahman Al-Batawi bersama dengan Muhammad Arsyad dan Abdul Shamad meminta idzin kepada gurunya, ‘Atha’ Allah Al-Mashri untuk menambah pengetahuan di Kairo. Kendati menghargai niat baik mereka, ‘Atha’ Allah menyarankan agar mereka lebih baik kembali ke Nusantara sebab mereka sudah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup dan dapat mereka manfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka. Mereka tetap memutuskan pergi ke Kairo tetapi hanya untuk berkunjung bukan untuk belajar. Mungkin sebagai tanda hubungan baik mereka dengan ‘Atha’ Allah dan kunjungan mereka ke Kairo sehingga Abdurahman Al-Batawi menambahkan laqab “Al-Mashri” pada namanya.
Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi bersama Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Al-Bugisi kembali ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum ke Banjarmasin, atas permintaan Al-Batawi, Muhammad Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan. Kendati dia tinggal di Batavia hanya untuk waktu yang relatif singkat tetapi dia mampu melakukan pembaruan penting bagi kaum Muslim di Batavia. Beberapa masjid di Batavia dibetulkan arah kiblatnya. Menurut perhitungannya, kiblat masjid-masjid di Jembatan Lima (Masjid Kampung Sawah/Masjid Al-Mansur) dan Pekojan, tidak diarahkan secara benar menuju Ka’bah dan karenanya harus dirubah. Kontroversipun bermunculan di kalangan para pemimpin muslim di Batavia sehingga gubernur jenderal Belanda memanggil Muhammad Arsyad untuk mengklarifikasi masalah itu. Muhammad Arsyad menjelaskan perhitungan secara matematis sehingga membuat gubernur terkesan dan memberikan hadiah kepadanya. Di kemudian hari, pembetulan arah kiblat itu juga diusulkan Abdurahman Al-Batawi di Palembang ketika dia mengadakan perjalanan ke sana sekitar tahun 1800 yang juga menimbulkan kontroversi di sana.
Ulama-ulama Betawi pada abad ke 19 pasca Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah Syaikh Junaedi Al-Batawi. Menurut C. Snouck Hurgronje, di Makkah pada perempatan ketiga abad ke 19 ada “sesepuh” (nestor) para profesor Jawi yang berasal dari Betawi yang bernama Junaed yang sudah menetap selama 50 tahun. Ketika berkunjung ke Makkah—menurut Hurgronje—ia telah melakukan kajian-kajian mendalam di negeri asalnya tetapi tidak pernah kembali ke negerinya. Jika Junaed sudah tiba di Makkah 50 tahun yang lalu, maka berarti ia sudah tiba di Makkah di awal abad ke 19 M. Junaed memiliki banyak murid di antaranya adalah KH. Mujtaba bin Ahmad atau dikenal dengan Guru Mujtaba. Jika Guru Mujtaba akhirnya kembali ke Betawi pada 1904, Syaikh Junaed Al-Batawi tetap tinggal di sana. Khabarnya Junaed meninggal dunia di tanah suci akhir abad ke 19. Kendati tidak diketahui tanggal yang pasti mengenai wafatnya, Junaed telah mendidik murid-muridnya asal Betawi menjadi ulama-ulama besar. Sayang sekali sampai sekarang tidak diketahui di mana anak dan keturunan Junaed berada sekarang.
Ulama Betawi berikutnya adalah Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya (1822-1914). Ayahnya adalah Sayyid Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syaikh Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi.
Sayyid Usman pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji kemudian belajar di sana selama 7 tahun. Dia belajar kepada ayahnya dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah. Pada tahun 1848 Sayyid Usman berangkat ke Hadramaut dan menimba ilmu kepada Syaikh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri dan Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar. Untuk memperdalam bermacam-macam ilmu, dia belajar juga ke Mesir, Tunis, Al Jazair, Istambul, Persia dan Syiria.
Di antara karya Sayyid Usman yang terpenting adalah Tawdih al-Adillat ‘ala Syurûth Syuhud al-Ahillat. Latar belakang kitab ini adalah karena pada tahun 1882 umat Islam di Jakarta terbagi dua dalam menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian mulai puasa pada hari Senin. Banyak karya-karya Sayyid Usman yang masih dibaca oleh masyarakat Betawi, di antaranya adalah Sifat Dua Puluh. Karena keilmuan Sayyid Usman yang memadai maka diangkatlah dia menjadi mufti Betawi oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Di antara murid Sayyid Usman adalah KH Abdul Muhgni Kuningan atau biasa dipanggil Guru Mugni (1860-1935). Guru Mugni terhitung ulama yang paling terkemuka di wilayah Selatan. Dalam usia 16 tahun, ia dikirim ayahnya menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di sana selama 9 tahun. Di sana Guru Mugni berguru kepada banyak ulama, antara lain Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadrami, Syaikh Sa’id Al-Yamani, Syaikh Ali Al-Maliki, Syaikh Abdul Karim Al-Dagestani, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan Syaikh Muhammad Umar Syatha.
Selama di tanah suci, ia berteman dengan sejumlah orang Betawi yang kelak menjadi ulama Besar, seperti KH. Marzuqi (Guru Marzuqi) yang telah menerima ijazah tarekat Al-Alawiyah dari Muhammad Umar Syatha. Guru Mughni memiliki banyak murid yang telah menjadi ulama besar, di antaranya adalah Guru Abdul Rahman Pondok Pinang, KH. Mughni Lenteng Agung, Guru Naim Cipete, KH Hamim dan KH Raisin Cipete, Guru Ilyas Karet dan Guru Ismail Pedurenan (dipanggil Guru Mael, mertua KH Ahmad Junaidi Menteng Atas).
Ulama Betawi terkemuka lainnya adalah Habib Ali Abdurrahman Al-Habsy (1869-1968). Habib Ali ditinggal wafat ayahnya, Habib Abdurrahman ketika ia berusia 12 tahun. Ayahnya berwasiat kepada istrinya, Nyai Salmah—seorang putri Betawi asli yang berasal dari Mester Pulo (Jatinegara sekarang)—agar Habib Ali dikirim belajar ke Hadramaut dan Makkah. Habib Ali akhirnya diberangkatkan ke Hadramaut ketika umurnya masih 12 tahun. Di Hadramaut Habib Ali berguru kepada Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Habib Abdurahman bin Muhammad Al-Masyhur dan lain sebagainya. Setelah kembali dari Hadramaut dan Makkah, Habib Ali kembali ke Indonesia dan menetap di Jakarta bersama ibunya, Nyai Salmah.
Sejak masih berusia 20-an tahun Habib Ali mendirikan majelis taklim. Sebelum di Kwitang, majelisnya berlangsung di Tanah Abang. Ia kemudian mendirikan Masjid Al-Riyadh di Kwitang dan di dekatnya didirikan Madarasah ‘Unwanul Falah’.
Banyak ulama Betawi yang merupakan murid dari Habib Ali dan dididik di Madrasah ‘Unwanul Falah yang menerapkan sistem pendidikan modern. Di antara muridnya yang sangat tekun mengikuti dan menjadi pembicara di majelisnya adalah adalah KH Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Fathullah Harun (1913-1989) dan KH Tohir Rohili (1920-1999). Habib Ali pun mempersaudarakan mereka bertiga dengan putranya, Habib Muhammad Al-Habsyi. Dari KH. Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili berdiri dan berkembang pesat majelis taklim As-Syafi’iyah dan At-Tahiriyah. Sedangkan KH. Fathullah Harun menjadi ulama Betawi ternama di Malaysia.
Hubungan antara Habib Ali dengan murid-muridnya cukup menarik dan romantis. Pada saat pemilu 1955, Habib Ali kendati tidak memperlihatkan berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah mengemukakan pilihannya pada orang lain tetapi ia lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada (Monas) Jakarta, Habib Ali diminta membaca doa. Ia juga banyak memiliki murid-murid orang-orang NU, termasuk Ketua Umumnya saat itu, KH Idham Khalid yang kerapkali datang ke masjidnya.
Murid-murid Habib Ali yang lain KH. Ahmad Thabrani Paseban (1901-1985), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH. Muhammad Na’im Cipete (1912-1973), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH. Zayadi Muhajir (1918-1994), KH. Muhajirin (1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006), KH. Nahrawi Abdul Salam (1931-1999), KH. Abdurrazaq Makmun, KH. Ismail dan lain sebagainya.
Ulama Betawi dari wilayah Timur yang paling berpengaruh adalah KH Ahmad Marzuqi yang akrab dipanggil Guru Marzuqi (1293-1352 H/1876-1934 M). Ayahnya bernama Ahmad Mirshad adalah keturunan keempat dari Sultan Laksana Melayang, salah seorang Pangeran dari kesultanan Melayu Pattani di Muangthai Selatan. Ketika berusia 16 tahun, Marzuqi berangkat ke Makkah dan menetap di sana selama tujuh tahun. Di Makkah ia menimba ilmu kepada ulama terkemuka seperti Syaikh Ali al-Maliki, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Umar Sumbawa, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan banyak lagi. Guru Marzuqi di Makkah juga mendalami tasawuf dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-Alawiyah dari Syaikh Muhammad Umar Syatha yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan.
Setelah kembali ke Betawi, ia diminta oleh Sayid Usman Banahsan untuk mengajar di masjid Rawabangke (Rawa Bunga) selama lima tahun kemudian pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah Guru Marzuqi merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Di antara para murid-muridnya yang kelak menjadi ulama besar adalah KH Abdul Jalil Tambun, KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Tambih Bekasi (1907-1977), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH Muhtar Thabrani Kaliabang Bekasi (1912-1971), KH. Muhammad Na’im Cipete (1912-1973)), KH Abdullah Syafi’i Kampung Bali Matraman, KH Nur Ali Bekasi (1913-1992) dan KH Aspas Cilincing. Di antara putera Guru Marzuqi yang melajutkan perjuangannya adalah KH Abdul Malik (Guru Malik), KH Muhammad Baqir Rawabangke, KH Abdul Mu’thi Buaran Bekasi dan KH Abdul Ghofur Jatibening Bekasi.
Dari pusat kota Jakarta tepatnya di Kampung Sawah Jembatan Lima muncul ulama Betawi terkemuka yang bernama KH. Muhammad Mansur atau akrab dipanggil Guru Mansur (1878-1967). Ia dan Guru Mughni disebut oleh masyarakat Betawi sebagai “Paku Jakarta” Hal ini membuktikan bahwa keulamaan dan ketokohan mereka tidak diragukan lagi.
Guru Mansur lahir pada tahun 1878 di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta Barat yang dahulu masih termasuk kawasan hunian orang-orang asal Kepulauan Banda. Ayahnya bernama KH Abdul Hamid bin Damiri bin Imam Habib bin Abdul Muhit bin Pangeran Tjakra Jaya (Tumenggung Mataram). Abdul Muhit adalah orang alim yang membangun Masjid Kuno di Kampung Sawah pada tahun 1717 M (sekarang bernama Masjid Al-Mansur). Guru Mansur merupakan keponakan dari Syaikh Junaid Al- Batawi karena KH. Abdul Hamid, ayah Guru Mansur adalah adik kandung Syaikh Junaid Al-Batawi. Guru Mansur pertama kali belajar agama kepada ayahnya dan sesudah ayahnya meninggal, ia belajar dari kakak kandungnya KH Mahbub bin Abdul Hamid dan kakak misannya yang bernama KH Thabrani bin Abdul Mugni. Selain kepada mereka, Guru Mansur juga pernah belajar kepada seorang ulama dari Meester Cornelis (Jatinegara) bernama H. Mujtaba bin Ahmad. Di Makkah ia juga memperdalam ilmunya dengan Tuan Guru Umar Sumbawa yang kelak mengangkatnya sebagai Katib (sekretaris) karena tertarik pada tulisan Guru Mansur yang rapi.
Setelah menimba ilmu di Makkah selama empat tahun, Guru Mansur kembali ke tanah air melalui beberapa negara yang disinggahinya, seperti Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan Singapura. Setelah sampai di tanah air, Guru Mansur membantu ayahnya mengajar di madrasah Kampung Sawah (sekarang Chairiyah Mansuriyah). Mulai tahun 1907, ia mengajar di Jamiatul Khair bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Ahmad Surkati dan KH Ahmad Dahlan.
Rasa nasionalisme Guru Mansur tidak diragukan lagi. Hal ini terbukti ketika Jakarta berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1948, Guru Mansur terpaksa harus berurusan dengan Hoofd Bureau Kepolisian Gambir karena ulahnya yang memasang bendera merah putih di menara Masjid Kampung Sawah. Kendati Guru Mansur berada di bawah ancaman senjata Nica, ia tetap mempertahankan bendera merah putih tetap berkibar di menara mesjid itu. Guru Mansur pun berujar “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”.
Selama hidupnya, Guru Mansur telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, di antaranya Sullamun nairain, Khulâsatul jadawil, Kaifiyatul amal ijtima, khusûf wal kusûf dan lain sebagainnya. Di antara murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama adalah KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Radjiun Kebon Sirih (1916-1982) yang pernah menjadi ketua Masjid Pekojan dan KH Muhammad yang mendalami ilmu Falaq dan kemudian diangkat menantu dan meneruskan usaha mertuanya mengembangkan Madrasah Al-Mansuriyyah (yang masih berdiri hingga kini). Ahli falaq lain didikannya yang cukup berhasil adalah KH Muhajirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), Pimpinan Perguruan Islam An-Nida, Bekasi.
Masih banyak para ulama Betawi yang memiliki jaringan ulama ke Makkah, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti KH. Mahmud Ramli Menteng (1866-1959), KH. Ahmad Kholid Gondangdia (1874-1946), KH. Abdul Madjid Pekojan (1887-1947), KH. Najihun (1897-1984), KH. Muhammad Amin (1901-1965), KH. Ahmad Thabrani (1901-1985), KH. Muhammad Tambih (1907-1977), KH. Ali Alhamidi (1909-1985), KH. Abdul Hadi (1909-1998), KH. Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Muchtar Thabrani (1912-1971), KH. Muhammad Na’im (1912-1973), KH. Nur Ali Bekasi (1913-1992), KH. Hasbiyallah (1913-1982), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH. Fathullah Harun (1913-1989), KH. Mursyidi Klender (1915-2003), KH. Muhammad Radjiun (1916-1982), KH. Zayadi Muhajir Klender (1918-1994), KH. Thohir Rohili Bukit Duri (1920-1999), KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Abdul Hannan Sa’id (1923-2000), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006) dan Dr. KH. Ahmad Nahrawi Abdul Salam Al-Indunisi (1931-1999) yang akan diuraikan biografinya dalam bab tersendiri di buku ini.
Ulama-ulama Betawi yang disebutkan di atas adalah ulama terkemuka dari Betawi yang pernah menetap dan menuntut ilmu di Timur Tengah terutama di Makkah dan Madinah pada abad ke 19 dan 20 atau berguru kepada Ulama Betawi yang pernah menuntut ilmu di Timur Tengah sehingga pantas diperkirakan bahwa ada jaringan ulama Betawi yang meneruskan pembaharuan keagamaan ulama Timur Tengah dengan kitab-kitab karya mereka. Kitab-kitab kuning yang dikarang oleh ulama Betawi atau yang diajarkan oleh ulama Betawi kepada para murid-muridnya mencerminkan bagaimana ulama Betawi berhubungan dengan tradisi ulama Timur Tengah. Muatan muatan kitab kuning tersebut mengkaitkan pada tradisi ortodoks (klasik) universal yaitu aqidah Al-Asy’ari, fiqih As-Syafi’i dan tasawuf Al-Ghazali.
Fenomena ulama Betawi yang belajar di Timur Tengah pada abad ke-19 dan ke-20 membuktikan bahwa teori Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya hubungan ulama Makkah dan Nusantara juga terjadi di Betawi. Sehingga dirasa penting melakukan penelitian untuk menggungkapkan jaringan ulama Betawi yang belajar di Makkah serta bagaimana subtansi pengajaran pembaharuan yang disebarkan pada abad ke-19 dan ke-20.

Rabu, 24 September 2014




santri dilarang keras merokok. Dan sang Kiai pengasuh pondok pesantren itu tidak segan-segan memberikan takzir (hukuman) berat pada santri yang ketahuan melanggar aturan merokok di pesantren itu. Namun tentu saja ada santri nakal yang nekat melakukan pelanggaran.

Bahkan, sering beberapa santri yang tidak tahan ingin merokok mencari-cari kesempatan di malam hari, pada saat gelap di sudut-sudut asrama atau di gang-gang kecilnya, atau di tempat jemuran pakaian atau di pekarangan sang Kiai. Bahkan ada juga yang tidak jijik merokok di dalam WC sambil pura-pura sedang BAB.

Satu hari, saat malam telah larut, salah seorang santri perokok ingin kembali melakukan aksi terlarangnya. Meski sudah agak mengantuk karena kelamaan menunggu waktu yang aman untuk merokok, ia pun bergegas ke kebun belimbing, di belakang salah satu gedung pesantren itu. Santri itu lalu mendekati seseorang temannya di kejauhan yang sedang menyalakan rokok. Suasana disekitar yang jauh dari lampu penerangan membuat tempat itu memang agak gelap dan aman untuk merokok.

"Kang, minta rokoknya... sekalian dengan api-nya...sup." katanya sambil menyodorkan jari tengah dan telunjukknya.

Temannya langsung menyerahkan sebungkus rokok yang dipegangnya. Santri perokok itu tanpa memperhatikan temannya itu langsung buru-buru mengisap rokok.

"Alhamdulillah, asyik sup..." katanya. Diteruskan dengan isapan kedua, sambil memejamkan mata seakan menghayati isapan rokoknya.

Rokok semakin menyala, dan... dalam gelap dengan bantuan nyala rokok itu lama-lama kelamaan si santri mulai sadar dengan siapa dia sebenarnya saat itu sedang merokok bareng. Namun santri belum yakin betul dan diteruskan dengan isapan selanjutnya... Isapan yang dalam sehingga membuat rokok itu semakin menyala terang. Dan...

Ternyata... yang dia mintai rokok adalah Kiainya sendiri.

Bukan main, si santri itu sangat kaget dan ketakutan. Dia langsung kabur, lari tunggang langgang tanpa sempat mengembalikan rokok yang dipinjamnya.

Sang Kiai pun marah besar sambil berteriak :

"Hei rokok saya jangan dibawa, itu tinggal satu-satunya, Kang...





NASEHAT SANG KIAI KEPADA SANTRI-SANTRINYA

“Aku akan segera bergabung dengan masa silam alias akan dipanggil oleh Tuhan”, kata seorang kiai di suatu sore kepada santri-santrinya.

Aku akan segera berlalu, masaku akan segera dikuburkan. Kamu sekalian para santri sekarang mulai menapaki masa peralihan dan anak-anakmu akan menjadi penghuni zaman baru yang dahsyat dan mengagumkan sesudah orde yang sekarang”.

Sami’na wa ‘atho’na..”, kata para santri dengan penuh ta’dzim. “Hamba mohon wahai pak kiai tancapkanlah cahaya yang menerangi cakrawala yang hamba jalani”.

Sang kiai terkekeh-kekeh. “Bahasa dan tata prilakumu semacam itu adalah bahasa generasiku. Sehingga besok akan terkubur bersamaku dan bahasamu yang bisa dikenal oleh masyarakat adalah bahasa Rap, bahasa extacy, dan bahasa-bahasa yang makin tidak mengenal sopan santun.

Hei, berlatihlah untuk meninggalkan upacara dan sopan santun yang barbagai dan bertele-tele semacam itu. Kemudian mulailahsatu cara hidup yang praktis, yang pragmatis, yang efektif dan efisien. Kemudian karena engkau adalah bapak dari anak-anakmu kelak, dan cara hidup baru itulah modal utama yang engkau ajarkan kepada anak-anakmu, agar mereka sanggup berlari seirama dengan zaman yang mereka jalani.

Cara hidupmu yang bertele-tele jangan engkau warisi dan jangan engkau wariskan kepada generasi dibawahmu agar mereka tidak digilas oleh buldoser suatu makhluq baru yang esok lusa akan lahir semakin banyak lagi”.

Si santri bertanya, “Apa nama makhluq baru itu pak kiai..?”

Sang Kiai menjawab, “namanya Al Khonglomeraat..”.

“Makhluq apa itu gerangan pak kiai..?!”.

“al khonglomeratu kabirun jiddan.. tubuhnya sangat besar.. salah satu kakinya di pantai teluk jakarta, kaki lainnya di gunung sebelah selatan Surakarta”.

“Pak kiai.. itu pasti semacam Gathutkaca yang berotot kawat dan bertulang besi..”.

“Bukan anakku, otot mereka bukan kawat dan balung mereka bukan besi...tapi otot mereka adalah jalan-jalan tol, tulang-tulang mereka adalah cor-cor besi gedung-gedung pencakar langit”.

“Jadi kalau begitu mereka sangat kuat ya kiai..”.

“Sangat-sangat kuat.. maka katakan pada saudara-saudaramu dan anak-anakmu jangan sekali-kali berusaha melawan mereka kalau belum sungguh-sungguh menghitung kekuatan sendiri”.

“Pak kiai, persisnya berapa kuat makhluq bernama khonglomerat itu..?”.

“Hampir tak tebayangkan karena dia sanggup mengalahkan dengan mudah semua pendekar-pendekar ulung. Apalagi sekedar bernama gubenur atau menteri. Kalau sekedar bupati atau setingkat hanya dijadikan slilit-slilit kecil disela-sela giginya.

Bahkan ada pimpinan-pimpinan didaerah seperti itu yang memaksakansebuah proyek harus segera dilaksanakan karena dia dipindahkan dari jabatannya dan harus mendapatkan bonus dari proyek yang dikerjakannya itu”.

“Ajaib ya pak kiai..!!”.

“Ya, ajaib.. kalau konglomerat meludah, setetes air liurnya menjadi sepuluh ton supermie. Kalau dia bersin riaknya menjadi miliayaran virus-virus.

kalau batuk jadi apa..?

Kalau batuk jadi mall.. supermarket dan plaza-plaza..”.

“Luar biasa kiai..! Makanan mereka itu apa sehari-hari..?”.

“Makanan mereka adalah sejenis jajan yang bernama Rakyat Kecil”.

“Kalau demikian..”, kata si santri, “Akan aku ajarkan pada anak-anakku ilmu binatang”.

“Lho.. apa maksudmu dengan ilmu binatang?”, tukas pak kiai.

“Ilmu keserakahan yai…”.

“Darimana kamu memperoleh ilmu bahwa ilmu keserakahan adalah milik binatang?”.

“Lho, pak kiai gimana, sudah menjadi pengetahuan umum sepanjang jaman bahwa yang dimaksud kebinatangan adalah kerakusan, kebencian dan kebiadaban”.

Sang kiai tertawa terbahak-bahak, “Kiai mana yang ilmunya sesat seperti itu..??Tidak ada binatang yang rakus itu.. tidak ada.. binatang itu selalu berhenti makan kalau sudah kenyang. Tidak ada binatang yang sudah kenyang masih terus makan.

Manusialah yang terus makan meskipun sudah kenyang..

Manusialah yang tidak pernah merasa cukup meskipun sudah memiliki ribuan perusahaan. Manusialah dan bukan binatang yang tetap merasa kurang meskipun ditangannya sudah tergenggam seratus milyar, meskipun sahamnya sudah berekspansi sampai kehutan-hutan dan dasar lautan maupun gunung-gunung disebelah wetan”.

“Manusialah..”, kata pak kiai, “..yang meskipun telah dia kuasai harta yang bisa dipakai untuk membeli 10 kota besar, berpendapat bahwa yang ia jalani adalah pola hidup sederhana!. Kalau 10 ekor semut bergotong-royong mengangkut sejumput gula, mereka tidak akan menoleh meskipun disekitarnya tergeletak sejumput gula yang lain.

Selasa, 23 September 2014



Sewaktu saya mesantren dulu, saya sempat belajar macam-macam do’a dan wirid. Ada doa agar mudah menghafal pelajaran, ada doa untuk membuka kunci pintu yang macet, ada doa memelet gadis, ada doa makan di warung tanpa bayar, ada doa naik kendaraan umum tanpa karcis, ada doa menghilang, dan macam-macam lagi.
Doa-doa itu sangat bermanfaat. Sebab, jika BBM nanti naik, segalanya menjadi mahal. Ongkos angkot, bus kota, travel, dan kereta-api pasti jadi mahal, sementara naik motor sekarang ini semakin macet. Karena itu, jika Anda mau, saya bisa bantu Anda dengan do’a yang jika Anda amalkan dengan sungguh-sungguh, Anda bisa terbang. Enak, gak repot!
Syaratnya sangat mudah: Anda harus shalat lima waktu dengan khusyu’, menjauhi ma’siyat, dan puasa Senin-Kamis.
Jika syarat-syarat di atas sudah Anda penuhi, bacalah bismillah 3x, lalu baca “Salamun salama… Salamun minal hawa… Salamun lana wa salamun lakum” 3x.
Cukup itu saja.


Besok Anda bisa mencobanya. Sesudah membaca doa itu dengan sungguh-sungguh, naiklah ke pohon, lalu meloncatlah. Jika Anda tidak jatuh, berarti Anda berhasil, tetapi jika Anda jatuh gedebug di tanah, berarti Anda belum lulus. Karena itu, cobalah sekali lagi. Jika masih gedebug di tanah, coba lagi. Begitu seterusnya sampai Anda betul-betul bisa terbang!





Ruh Tentang Manusia
Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah paling sempurna dibandingkan dengan machluk yang lainya, termasuk diantaranya Malaikat, Jin, Iblis, Binatang, dllnya. Tetapi kita sendiri sebagai manusia tidak tahu atau tidak kenal akan diri kita sendiri sebagai manusia. Untuk itu marilah kita pelajari diri kita ini sebagai manusia, Siapa diri kita ini? Dari mana asalnya? Mau kemana nantinya? Dan yang paling penting adalah bagaimana kita menempuh kehidupan didunia ini supaya selamat didunia dan achkirat nanti?
Sebenarnya manusia itu terdiri atas 3 unsur yaitu:
  1. Jasmani.
    Terdiri dari Air, Kapur, Angin, Api dan Tanah.
  2. Ruh.
    Terbuat dari cahaya (NUR). Fungsinya hanya untuk menghidupkan jasmani saja.
  3. Jiwa. (An Nafsun/rasa dan perasaan).
    Terdiri atas 3 unsur:
    • Syahwat/Lawwamah (darah hitam), dipengaruhi sifat Jin, sifatnya adalah: Rakus, pemalas, Serakah, dll (kebendaan/materialis)-menjadi beban masyarakat.
    • Ghodob/Ammarah ( Darah merah ), dipengaruhi oleh sifat Iblis, Sifatnya adalah: Sombong, Merusak, Angkara murka dll (Menentang)-Menjadi pengacau masyarakat.
    • Natiqoh/Muthmainah (darah Putih), Dipengarui sifat malaikat, Sifatnya adalah: Bijaksana, Tenang, Berbudi luhur, Berachlak Tinggi dan Mulia- Menciptakan kedamaian dan kasih sayang.
Alat dari pada Jiwa yaitu otak, yang terdiri atas 3 bagian juga:
  1. Akal (timbangan) haq atau bathil
  2. Pikir (hitungan) Untung rugi
  3. Zikir (ingatan) Ingat Allah
Jadi kalau diibaratkan mobil maka jasmani ini adalah Body daripada mobil sedangkan Ruh sebagai Accu yang sifatnya hanyalah sebagai yang menghidupkan saja dan Jiwa adalah sopir atau yang mengendalikan dari pada mobilnya dimana dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan dari pada mobil itu sendiri. Jadi Disini jelaslah bahwa yang dikatakan manusia itu adalah Jiwanya dimana dialah yang bertanggung jawab atas perbuatanya. 
Machluk machluk yang diciptakan Allah ( dimana ada yang menjadi musuh atau lawan manusia yaitu Iblis dan Jin kafir.) 
Ada 6 machluk yaitu:
  1. Malaikat, Dari Nur (cahaya) menerangi/mengawasi manusia.
  2. Iblis, Dari Nar (Api), sifatnya merusak, merupakan musuh manusia.
  3. Jin, Dari asap yang beracun, sifatnya memabukan, merupakan penggoda dan juga membantu manusia.
  4. Tumbuhan, Hanya mempunyai  naluri, berfaedah, untuk kebutuhan manusia.
  5. Hewan, Syahwat dan ghodob, berfaedah untuk kepentingan manusia.
  6. Manusia, Sebagai pengatur alam, pengurus dunia(khalifah rachmatan lil alamin).
Corak corak Manusia:
  • Mu'min
  • Kafir
  • Munafi
Perjalanan Kehidupan Manusia:
  1. Alam Arwah/Ruh, Masih didalam alam suci/taqdir ketentuan
  2. Alam Rahim, Didalam Kandungan Ibu/Qadarditentukan
  3. Alam Dunia/Alam Qodho, Penyelesaian/Untuk sementara
  4. Alam Kubur/Alam Barzah, Dalam tahanan alam Kubur/prefentif
  5. Alam Mizan, Timbangan Alam dibangkitkanya kembali Manusia
  6. Yaumil Ma'lum ( Hari Pengumuman/Keputusan), Sorga bagi yang beramal baik; Neraka bagi yang beramal buruk

Minggu, 21 September 2014




Aku berjalan di malam hari dan bintang menampakan sinarnya yang terang namun ketika dirimu datang bintang berubah menjadi gelap seperti di curi oleh terangnya wajahmu .


Mengenal ulma:




menghadapi datangnya kematian yang pasti terjadi, dengan memperbanyak amal-amal shaleh. Allah berfirman:
{الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً}
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (QS al-Kahfi: 46)



Berkata Fuadi Malam telah menjadi saksi atas kejujuran hambanya, ia telah melepaskan jaring-jaring cinta semu. Ia sadar, tak perlu baginya untuk mencari dan mendapatkan dambaan hatinya. Sebab tiada daya bagi seorang hamba untuk menentukan nasibnya.

Tugasnya hanyalah berusaha, hanya itu!. Dunia hanyalah permainan. dan aku akan bermain di dunia ini sebagaiman bermainnya imam-imam terdahulu, kekasih allah, orang-orang yang memegah teguh ajaran agamanya dan mereka yang selalu berusaha menjaga kesucian jiwa raga.





NASiHAT SANG KIAI KEPADA SANTRI-SANTRINYA

“Aku akan segera bergabung dengan masa silam alias akan dipanggil oleh Tuhan”, kata seorang kiai di suatu sore kepada santri-santrinya.

“Aku akan segera berlalu, masaku akan segera dikuburkan. Kamu sekalian para santri sekarang mulai menapaki masa peralihan dan anak-anakmu akan menjadi penghuni zaman baru yang dahsyat dan mengagumkan sesudah orde yang sekarang”.

“Sami’na wa ‘atho’na..”, kata para santri dengan penuh ta’dzim. “Hamba mohon wahai pak kiai tancapkanlah cahaya yang menerangi cakrawala yang hamba jalani”.

Sang kiai terkekeh-kekeh. “Bahasa dan tata prilakumu semacam itu adalah bahasa generasiku. Sehingga besok akan terkubur bersamaku dan bahasamu yang bisa dikenal oleh masyarakat adalah bahasa Rap, bahasa extacy, dan bahasa-bahasa yang makin tidak mengenal sopan santun.

Hei, berlatihlah untuk meninggalkan upacara dan sopan santun yang barbagai dan bertele-tele semacam itu. Kemudian mulailahsatu cara hidup yang praktis, yang pragmatis, yang efektif dan efisien. Kemudian karena engkau adalah bapak dari anak-anakmu kelak, dan cara hidup baru itulah modal utama yang engkau ajarkan kepada anak-anakmu, agar mereka sanggup berlari seirama dengan zaman yang mereka jalani.

Cara hidupmu yang bertele-tele jangan engkau warisi dan jangan engkau wariskan kepada generasi dibawahmu agar mereka tidak digilas oleh buldoser suatu makhluq baru yang esok lusa akan lahir semakin banyak lagi”.

Si santri bertanya, “Apa nama makhluq baru itu pak kiai..?”

Sang Kiai menjawab, “namanya Al Khonglomeraat..”.

“Makhluq apa itu gerangan pak kiai..?!”.

“al khonglomeratu kabirun jiddan.. tubuhnya sangat besar.. salah satu kakinya di pantai teluk jakarta, kaki lainnya di gunung sebelah selatan Surakarta”.

“Pak kiai.. itu pasti semacam Gathutkaca yang berotot kawat dan bertulang besi..”.

“Bukan anakku, otot mereka bukan kawat dan balung mereka bukan besi...tapi otot mereka adalah jalan-jalan tol, tulang-tulang mereka adalah cor-cor besi gedung-gedung pencakar langit”.

“Jadi kalau begitu mereka sangat kuat ya kiai..”.

“Sangat-sangat kuat.. maka katakan pada saudara-saudaramu dan anak-anakmu jangan sekali-kali berusaha melawan mereka kalau belum sungguh-sungguh menghitung kekuatan sendiri”.

“Pak kiai, persisnya berapa kuat makhluq bernama khonglomerat itu..?”.

“Hampir tak tebayangkan karena dia sanggup mengalahkan dengan mudah semua pendekar-pendekar ulung. Apalagi sekedar bernama gubenur atau menteri. Kalau sekedar bupati atau setingkat hanya dijadikan slilit-slilit kecil disela-sela giginya.

Bahkan ada pimpinan-pimpinan didaerah seperti itu yang memaksakansebuah proyek harus segera dilaksanakan karena dia dipindahkan dari jabatannya dan harus mendapatkan bonus dari proyek yang dikerjakannya itu”.

“Ajaib ya pak kiai..!!”.

“Ya, ajaib.. kalau konglomerat meludah, setetes air liurnya menjadi sepuluh ton supermie. Kalau dia bersin riaknya menjadi miliayaran virus-virus.

kalau batuk jadi apa..?

Kalau batuk jadi mall.. supermarket dan plaza-plaza..”.

“Luar biasa kiai..! Makanan mereka itu apa sehari-hari..?”.

“Makanan mereka adalah sejenis jajan yang bernama Rakyat Kecil”.

“Kalau demikian..”, kata si santri, “Akan aku ajarkan pada anak-anakku ilmu binatang”.

“Lho.. apa maksudmu dengan ilmu binatang?”, tukas pak kiai.

“Ilmu keserakahan yai…”.

“Darimana kamu memperoleh ilmu bahwa ilmu keserakahan adalah milik binatang?”.

“Lho, pak kiai gimana, sudah menjadi pengetahuan umum sepanjang jaman bahwa yang dimaksud kebinatangan adalah kerakusan, kebencian dan kebiadaban”.

Sang kiai tertawa terbahak-bahak, “Kiai mana yang ilmunya sesat seperti itu..??Tidak ada binatang yang rakus itu.. tidak ada.. binatang itu selalu berhenti makan kalau sudah kenyang. Tidak ada binatang yang sudah kenyang masih terus makan.

Manusialah yang terus makan meskipun sudah kenyang..

Manusialah yang tidak pernah merasa cukup meskipun sudah memiliki ribuan perusahaan. Manusialah dan bukan binatang yang tetap merasa kurang meskipun ditangannya sudah tergenggam seratus milyar, meskipun sahamnya sudah berekspansi sampai kehutan-hutan dan dasar lautan maupun gunung-gunung disebelah wetan”.

“Manusialah..”, kata pak kiai, “..yang meskipun telah dia kuasai harta yang bisa dipakai untuk membeli 10 kota besar, berpendapat bahwa yang ia jalani adalah pola hidup sederhana!. Kalau 10 ekor semut bergotong-royong mengangkut sejumput gula, mereka tidak akan menoleh meskipun disekitarnya tergeletak sejumput gula yang lain.

Tapi kalau manusia…

manusialah yang selalu sangat sibuk mengisi ususnya dengan penguasaan industri makanan dan kosmetik, industri otomotif, properti bahkan industri manipulasi atas Pancasila dan Kitab Suci”.