Rabu, 17 September 2014





Membatalkan wudhu. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm. Juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه dan Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما.
Membatalkan wudhu’ jika dengan syahwat. Ini merupakan pendapat Imam Malik رحمه الله dan Imam Ahmad رحمه الله dalam riwayat yang masyhur darinya.
Tidak membatalkan wudhu’. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah رحمه الله dan muridnya, yaitu Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Juga pendapat Ibnu Abbas, Thawus, Hasan Bashri, ‘Atha’, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat ketiga inilah yang rajih (kuat). Pendapat kedua nampaknya tidak ada dalil yang mendukungnya. Pendapat pertama berdalil dengan firman Allah عزّوجلّ:

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). (Qs al-Maidah/5:6)

Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar رضي الله عنهم mengatakan bahwa makna ‘menyentuh wanita’ di sini adalah menyentuh kulit, bukan jima’.[2]

Namun Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما menyelisihi penafsiran di atas, dia berkata, “(Kata) mass, lams, mubasyarah (semua artinya menyentuh -red) maksudnya adalah jima’, tetapi Allah عزّوجلّ menyebutkan dengan kinayah (sindiran) apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki.”[3]

Jika para Sahabat berbeda pendapat, maka kita memilih pendapat yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Dan ternyata yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat Ibnu Abbas رضي الله عنهما. Karena banyak hadits yang menyebutkan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengan wanita tidak membatalkan wudhu’. Inilah di antara dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا

Dari Aisyah رضي الله عنها, Istri Nabi صلى الله عليه وسلم, dia berkata, “Aku tidur di depan Rasulullah صلى الله عليه وسلم (yang sedang shalat -pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku”.[4]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ

Dari Aisyah رضي الله عنها , dia berkata, “Suatu matam aku kehilangan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud”.[5]

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa laki-laki menyentuh wanita, atau sebaliknya, tidak membatalkan wudhu’ dan shalat. Jika batal tentulah Nabi tidak melanjutkan shalatnya. Demikian juga Nabi صلى الله عليه وسلم pernah mencium istrinya kemudian tidak berwudhu’, sebagaimana hadits berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari ‘Aisyah رضي الله عنها, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم menciumnya, dan beliau tidak berwudhu’ (lagi).[6]

Hadits ini juga berlaku bagi umat beliau. Karena semua yang dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم juga berlaku bagi seluruh umat beliau kecuali yang ditunjukan oleh dalil bahwa hal itu khusus bagi beliau. Sedangkan di sini tidak ada dalil pengkhususan, maka hukumnya juga berlaku bagi umat beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar