Senin, 15 September 2014





Mencari ilmu di pesantren memang menjadi sakral bagi masyarakat yang berwajah Islami. Kebanyakan mereka memiliki asumsi besar terhadap pesantren sebagai sarana pembelajaran yang mampu membentuk karakter penerus Islam yang bijak dan memiliki ketaatan terhadap Islam. Serta pesantren dianggap sebagai wadah yang memiliki terobosan untuk membesarkan calon orang-orang pintar yang pantas masuk surga. Bahkan, ketika disandangnya busana pesantren memiliki aura bijak memikat kesucian. Sehingga ketika dikibarkan di tengah-tengah kerumunan orang akan menjadi pencerah bagai rembulan di kegelapan malam.
            Hal demikian termaktub dan mentradisi dalam benak masyarakat pada umumnya. Dan mungkin saja anggapan tersebut terjadi turun temurun dari sejak mulainya di gelar dunia kepesantrenan yang sudah ada di Indonesia sejak tahun 1700-an, yang berada di Jawa. Pada mulanya pesantren itu didirikan oleh para pemuka agama Islam. Yaitu berdirinya pesantren Sidogiri di Pasuruan Jawa Timur (1718). Dan setelah itu, berkembanglah lembaga pembelajaran dengan nama pesantren hingga merabah di Indoensia.
            Tujuannya tetap sama, untuk membentuk para generasi muda yang paham dengan kaidah-kaidah Islam sepenuhnya. Karena, mulai dari sistem pembelajaran dan materi yang diajarkan memiliki kesinambungan yang terangkum untuk mencetak generasi Islam yang memiliki kredibilitas dan integritas, serta berakhlak baik.
Santun
            Secara  normatif, sikap (attitude) santri (pelajar di pesantren) berbeda dengan sikap pelajar di tempat lain.  Masih melekat tradisi foedal yang membedakan antara santri dengan kiai, keluarga kiai, atau ustad yang mengajar di pesantren. Karena hal itu yang menimbulkan adanya sekatan yang kuat sehingga ada jarak jauh bagi santri yang ingus pada kiai. Tak seserakah ketika ingin mendekat pada orangtua atau orang lain yang tidak kiainya. Hingga menyapapun harus menundukkan kepala setunduk-tunduknya. Bahkan berjalan berlutut ketika memberikan suguhan di hadapan kiainya.
            Kiai memang menjadi acuan utama, dan seringkali dijadikan mazhab bagi santri-santrinya. Celotehan-celotehan kiai pun berubah menjadi fatwa bagi santri-santrinya. Meskipun ada permasalahan yang muskil dari fatwa kianya, tak pernah berani menanyakannya. Dengan dalih taklid atas dasar menghormati guru. Mencari keberkahan dari guru tersebut, dengan menerima apapun yang disuguhkan.
            Cara belajar demikian sudah pasti berbeda dengan gaya anak mahasiswa, atau yang belajar di lembaga-lembaga lain selain pesantren. Mereka akan cenderung lebih dekat dan mengajak guru layaknya teman belajarnya. Tidak ada jarak yang jauh, sehingga murid pun tidak memiliki keengganan ketika bertanya. Dan tak ada masalah ketika hendak berekspresi. Ketika bertemu pun tidak harus menundukkan kepala.
            Perbedaan dari beberapa corak demikian karena dilatarbelakangi oleh tradisi atau perbedaan manajemen pada mereka. Bahkan keterbelakangan berpikir sehingga tidak mau berpijak pada sistem yang lebih memanusiakan. Yang memberikan transparansi pada semua khalayak. Sehingga tidak ada sekatan-sekatan yang memurungkan sekelompok pihak ketika ingin bersama. Dengan dalih, kebersamaan kaum santri pada kiai menimbulkan klaim sebagai tindakan lancang, dan bahkan tidak mengenal etika.
            Karenanya kerelatifan normatif dalam problematika tersebut masih ambigu. Kesantunan yang justru sudah melekat, tampaknya tidak sesuai dengan keberuntungan yang akan dicapaianya.  Bagaimana bisa beruntung lebih banyak, mereka tidak menerima perkembangan lebih lebar, dan hanya menelan mentah-mentah dari tutur kata pendidiknya? Bahkan tidak boleh tahu menahu lebih dalam masalah keseharian gurunya? Dan bagaimana kesantunan sebenarnya?
Patuh dan taat (saman wa toatan)
Dua kata tersebut sebagai jargonisme kiai untuk melambangkan sikap untuk santrinya yang menginginkan berkah ilmu darinya. Kedua-nya tersebut harus menjadi dasar utama oleh santri dalam menghadapi apapun dari kiai. Dan juga sebagai konstitusi paten yang hubungannya dengan komitmen untuk menuai keberhasilan.
            Solgan tersebut dianggap memiliki ruh yang mampu menembus pada jalan cerah menuju keberhasilan dalam meniba ilmu. Dan merupakan kunci untuk membuka gudang ilmu yang disediakan oleh kianya. Maka, apabila kedua kunci tersebut patah, atau berkarat, keberhasilan akan menjadi jauh di sana, serta mustahil lagi dapat membukanya. Karena inti dari keberhasilan itu tergantung pada kedua pijakan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar